Kamis, 10 April 2014

AGAMA ISLAM DAN EKONOMI (Tugas Makalah)

Diposting oleh Unknown di 03.43


I.    Pengertian Ekonomi Dalam Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alams emesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggungjawabkan.

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun  Islam. Bekerja merupakansuatukewajibankarena Allah SWTmemerintahkannya, sebagaimanafirman-Nyadalamsurat At Taubahayat 105:

“Dan katakanlah, bekerjalahkamu, karena Allah danRasul-Nyaserta orang-orang yang berimanakanmelihat pekerjaanitu”.

Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabadaRasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.ThabranidanBaihaqi)

Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menawarkan /menjual barang) dan pembeli (sebagaipihak yang membayar/ membelibarang yang dijual).


II. Perdagangan Atau Jual Beli Menurut Ajaran Islam. 

A. Pengertian dan Kedudukan Jual Beli
Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Muhammad pada masa mudanya adalah seorang pedagang yang menjualkan barang-barang milik seorang pemilik barang yang kaya, yaitu Khadijah. Keberhasilan dan kejujuran Nabi dibuktikan dengan ketertarikan sang pemilik modal hingga kemudian menjadi istri Nabi. 

Berdagang atau berniaga diungkapkan dalam Al-Qur'an sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian yang baik, firman Allah : 

"Dan Allah telah mcnghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."(Q.§. Baqarah,2:275)

Bahkan Nabi menyebutkan secara jelas bahwa jual beli adalah usaha yang paling baik, seperti disabdakannya : 
Bahwa Nabi Saw,ditanya : Mata pencaharian apakah yang paling baik?, beliau menjawab: ”Seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih, (HR.AI-Bazzar). 

B. Aturan Islam Tentang Jual Beli
Berdagang dalam pandangan Islam merupakan bagian dari muamalah antar manusia yang dapat menjadi amal saleh bagi kedua pihak, baik pedagang maupun pembeli, jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan apa yang dilakukannya bukan hal yang terlarang. Berdagang dalam Islam diarahkan agar para pihak yang melakukan merasa senang dan saling menguntungkan, karena itu faktor-faktor yang dapat menimbulkan perselisihan dan kerugian masing-masing pihak, harus dihindarkan. Untuk itu Islam mengajarkan agar perdagangan itu diatur dalam administrasi dan pembukuan yang tertib, Allah berfirman :
 " Dan persaksikanlah jika kamu ber jual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan, "(0-S. AI-Baqarah, 2:282) 

Persaksian ini ditujukan untuk menghindari perselisihan dan memberi kejelasan tentang adanya peristiwa jual beli, sehingga ada bukti bahwa jual beli telah berlangsung. Dalam konteks jual beli sekarang ini persaksian dan tulisan dilakukan dalam bentuk administrasi, seperti adanya faktur pembelian sebagai bukti bahwa barang telah diterima pembeli, ada kuitansi sebagai bukti bahwa uang telah diterima penjual. Saksi dan penulis yang menyulitkan dalam ayat di atas maksudnya adalah sistem yang tidak beres atau petugas administrasi yang dapat merugikan pembeli maupun penjual. 

Jual beli dalam konsep Islam didasarkan atas kesukaan kedua pihak untuk membeli dan menjual, sehingga tidak ada perasaan menyesal setelah peristiwa jual beli berlangsung, Allah berfirman : 

".....kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. " (QS. An-Nisa, 4:29) 

Jual beli dalam keadaan terpaksa atau dipaksakan oleh salah satu pihak, baik pembeli maupun penjual, bukanlah cara yang sesuai dengan ajaran Islam, karena itu tidak sah jual beli di bawah ancaman, ketakutan dan keterpaksaan. 

Aspek saling menguntungkan dan saling meridlai merupakan ciri utama dalam konsep perdagangan Islam, karena itu hal-hal yang dapat mengganggu kedua aspek di atas sekali diperhatikan agar jual beli dapat terhindar dari kekecewaan dan kerugian. Untuk itu dalam masalah jual beli terdapat aturan tentang khiyar. 

Khiyar adalah pilihan, yaitu kesempatan dimana pembeli atau penjual menimbang nimbang atau memikirkan secara matang sebelum transaksi jual beli dilakukan. Nabi bersabda : 

Jika dua orang melakukan jual beli, maka keduanya boleh melakukan khiyar sebelum mereka berpisah dan sebelum mereka bersama-sama atau salah seorang mereka khiyar, maka mereka berdua melakukau jual beli dengan cara itu dengan demikian jual beli menjadi wajib. " (HR. Ats-Tsalatsah). 

Dua pihak melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum berpisah. Jika keduanya melakukan transaksi dengan benar dan jelas, keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, Allah akan memusnahkan keberkahan jual beli mereka. Karena itu dalam dunia perdagangan, Islam mengajarkan agar para pihak bertindak jujur. Kejujuran dalam jual beli ini menempalkan mereka yang melakukan, transaksi pada tempat baik dan mulia dalam pandangan Allah, sebagaimana disabdakan Nabi : 

"Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para Nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada. " (HR. Tirmidzi dan Hakim) 

Tempat yang terhormat bagi pedagang yang jujur disejajarkan dengan para Nabi. Karena bedagang dengan jujur berarti menegakkan kebenaran dan keadilan yang merupakan para Nabi. Disejajarkan dengan orang-orang saleh, karena pedagang yang jujur merupakan bagian dari amal salehnya, sedangkan persamaan dengan para syuhada, karena berdagang adalah berjuang membela kepentingan dan kehormatan diri dan Keluarganya dengan cara yang benar dam adil. 

Untuk menghindari kekecewaan dalam transaksi jual beli, Islam mengajarkan agar pembeli melihat dan memeriksa barang yang hendak dibelinya, si penjual tidak mempunyai hak untuk menerima pembayarannya, dan jual beli itu belum bisa dilangsungkan, artinya pembeli memiliki hak khiyar (untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya), Nabi bersabda : 

Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum dilihatnya maka ada hak khiyar baginya apabila dia lelah melihatnya. " (HR. Daruqutni dan Bailiaqi.) 

Apabila barang itu telah dilihat dan diperiksa calon pembeli, maka tidak berarti pada saat itu terjadi jual beli, pembeli masih memiliki hak untuk memiliki (khiyar), baik barang maupun harga selama keduanya belum mengambil keputusan, Nabi bersabda :
"Sesungguhnya kedua belah pihak yang berjual beli, boleh khiyar dalam jual beli selama keduanya belum berpisah. " (HR. Bukhari). 

Dalam jual beli barang tertentu yang memiliki spesifikasi yang khusus, sebaiknya dituliskan spesifikasi barang yang akan dipesan atau dibeli, misalnya ukuran, type, bahan dasar, warna dan sebagainya yang menunjukkan kualitas dan kwantitas barang yang dimaksud. Apabila tidak sesuai dengan pesanan, pembeli dalam kondisi khiyar, ia boleh menolaknya. Melihat dan memeriksa barang tidak selalu. 

Hak khiyar yang dimiliki oleh penjual maupun pembeli adalah untuk mempertimbangkan secara matang suatu peristiwa jual beli, apabila seseorang telah memutuskan membeli atau menjual suatu barang, maka orang lain tidak boleh menjual atau membelinya, pembeli atau penjual terdahulu telah dinyatakan sah berjual beli dan barang itu bukan lah menjadi milik penjual. Nabi bersabda : 

"Janganlah salah seorang kaum menjual barang yang telah dijual saudaranya. " (HR. Ahmad dan Nassai) 

Barang yang diperdagangkan adalah barang yang sudah jelas adanya, sehingga pembeli dapat melihat dan memeriksanya sebelum menetapkan penawaran dan membelinya. Ajaran Islam melarang menyembunyikan kecacatan barang yang dijualnya dengan sengaja untuk memperoleh keuntungun sendiri, sabda Nabi : 

"Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada suadaranya barang cacat kecuali ia jelaskan. " (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, Daruqutni, Al-Hakim dan Athabrani). 

Barang yang diperdagangkan adalah barang yang sudah jelas adanya, sehingga pembeli dapat melihat dan memeriksanya sebelum menetapkan penawaran dan membelinya. Ajaran Islam melarang menyembunyikan kecacatan barang-barang yang dijualnya dengan sengaja untuk memperoleh keuntungan sendiri, sabda Nabi : 

Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya barang cacat kecuali ia jelaskan. (HR Ahmad dan Ibnu Majah, Daruqutni, Al- Hakim dan Athabrani).

B.     Hukum dan Dalil Jual Beli

Di dalam Islam terdapatdasarhukumdari Al – Qur’an danHadis. Al-Qur’an yang menerangkantentangjualbeliantara lain:

a.       Al Baqarah : 198
Artinya : “Tidakadadosabagimuuntukmencarikarunia (rezkihasilperniagaan) dariTuhanmu. Makaapabilakamutelahbertolakdari ‘Arafat, berdzikirlahkepada Allah di Masy’arilharam.Dan berdzikirlah (denganmenyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nyakepadamu; dansesungguhnyakamusebelumitubenar-benartermasuk orang-orang yang sesat.”

b. Al Baqarah : 275
Artinya :“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakitgila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamka nriba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghun ineraka; mereka kekal di dalamnya.”

c. An Nisa : 29
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antarakamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Maka, bila mengacu pada ayat- ayat Al-Qur’an dan Hadis.Hukum jual beli adalah mubāh (boleh). Namun pada situasi tertentu, hUkum jula beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

C.    Rukun dan Syarat Jual Beli
a.   Orang yang melaksanakanakan djualbeli (penjual dan pembeli) :
-     Berakal
-     Balig
-     Berhak menggunakan hartanya

b.   Siga tata ucapan ijab dan kabul.
Kerelaan hati antara penjual dan pembeli yang diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli)

c.   Barang yang diperjualbelikan.
- Barang yang halal.
- Barang tersebut ada manfaatnya.
- Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain.
- Barangitumerupakanmiliksipenjualataudibawahkekuasaannya.
- Barangtersebutdiketahuiolehpihakpenjualdanpembelidenganjelas.

d.   Nilai tukar barang yang dijual
- Harga jual disepakati penjual dan pembeli
- Nilai tukar barang dapat diserahkan pada waktu transaksi.
- Apabila jual beli dengan cara barter, nilai tuka rbarang jangan sama dengan barang haram misalnya, Babi.

D.    Macam- macam bentuk jual beli
a. Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.

b. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.

c. Bai’ al sharf; yaitu jual-beli atau pertukaran antara saw mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).

d. Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.

e. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.

f. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.

g. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.

h. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

II. Syirkah (Perseroan Terbatas)

A. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), dan mashdar (kata dasar)nya ada tiga wazn (timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya, yaitu: syirkatan / syarikatan /syarakatan; artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan pula dengan percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Akan tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, III/58)
Adapun menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).

B. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:

a. Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)

Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

b. Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).

c. Ijma’
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).

C. RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
a.       Syarat Syirkah
1. orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat dan merdeka.
2. pokok maupun modal yang jelas.
3. orang yang bersyirkah harus mencampur kedua harta (sahamnya) sehingga tidak dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
4. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga jelas agar terhindar dari penyimpanganpenyimpangan.
5. untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal masingmasing.

b. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
  Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
1.      akad (ijab-kabul), disebut juga shighat
2.      dua pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf(pengelolaan harta)
3.      obyek akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan atau modal (al-mâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

D. MACAM-MACAM SYIRKAH
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah;
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

1)   Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

2)   Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata,
 “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].

Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

3)   Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

4)   Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

5)   Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

E.  MENGAKHIRI SYIRKAH
Latar belakang yang menyebabkan berakhirnya syirkah sebagaimana berikut:
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak      yang lain.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia.
4.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama  syirkah.

F. PRAKTIK SYIRKAH
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan. 


IV. Bank
A. Pengertian dan Fungsi Bank
Bank adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa-jasa dalam bidang keuangan. Bank berfungsi menerima deposito, menerima tabungan, memberikan pinjaman, mengedarkan uang dan menjual jasa-jasa perbankan lainnya, misalnya jual beli kertas berharga, transaksi devisa, penukaran mata uang dan sebagainya. Karena fungsi bank yang demikian itu, maka bank tidak bisa dipisahkan dari dunia usaha, atau perekonomian suatu negara. Bank memperoleh penerimaan dari jasa-jasa yang dilakukannya, antara lain
1. Provisi dan komisi
2. Jual beli surat berharga dan uang, karena selisih kurs, perbedaan rente dan premi.
3. Memberikan kredit kepada pihak lain yang menghasilkan bunga provisi 

Sedangkan pengeluaran bank pada umumnya adalah rekening biaya, pemeliharaan perponding, asuransi gedung kantor, penyusutan atas gedung, perabot, pembayaran pajak, biaya umum pegawai dan lain-lain. Selisih antara penerimaan berupa bunga, provit atau komisi dan deviden karena penyertaan, dan pengeluaran merupakan laba yang akan dibagi-bagikan antara lain kepada pemegang saham dan penambahan dana cadangan. Penghasilan terbesar bank datang dari pemberian kredit berbunga, kemudian provisi, lalu selisih kurs dan serba-serbi. 

B. Masalah Bunga Bank
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian lalu bahwa penghasilan bank yang terbanyak adalah dari jasa kredit berupa bunga. Bunga diterima bank sebagai jasa pemberian kredit kepada pihak tertentu (debitur) dan bank pun memberikan jasa bunga kepada pemilik uang (deposan) dengan tingkat bunga tertentu. Yang menjadi masalah sekarang apakah bunga bank termasuk riba? Dalam menjawab masalah ini para ulama tidak memiliki satu kesepakatan Mereka berselisih paham dalam menghukumi bunga bank yaitu :
1. Kelompok pertama, menyatakan bahwa bunga bank itu dihukumi riba, karena terjadi penambahan jumlah pinjaman dengan jumlah pembayaran dan penambahan tersebut adalah riba, karena hukumnya haram. 

2. Kelompok kedua menyatakan bahwa bunga bank dihukumi riba apabila :
a. Bunganya berlipat ganda
b. Bersifa memaksa
c. Memberatkan
Jika sifat bunga itu tidak memiliki sifat seperti itu, maka bunga bank tidak termasuk riba. 

3. Kelompok ketiga menyatakan bahwa bunga bank dihukum riba, tetapi karena bank yang tanpa bunga belum ada dan bank sangat diperlukan bagi pengambang ekonomi umat, maka memanfaatkan bank dengan bunganya termasuk perbuatan darurat, karena itu tidak berdosa.
DALIL

Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:
  • Surat Al-Baqarah, ayat 275:
    Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA’ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA’, padahal Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA’. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA’), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
  • Surat Ali ‘Imran, ayat 130:
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
  • Surat Ar-Rum, ayat 39: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
PENDAPAT
  • Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
  • Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
  • Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba
  • Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
  • Menurut musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
  • Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.
ANALISA
Larangan al-Qur’an terhadap pengambilan riba adalah jelas dan pasti. Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya. Tetapi pertentangan yang ditimbulkan adalah mengenai perbedaan antara riba dan bunga. Salah satu mazhab pemikiran percaya bahwa apa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara suatu mazhab pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan antara riba dan bunga. Karena itu pertayaan pertama yang harus dijawab adalah apakah ada perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dan bunga dalam dunia kapitalis.


Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 (empat) macam:
  1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
  2. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami/mempiutangi. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Budi. Budi mengharuskan Andi mengembalikan hutangnya kepada Budi sebesar Rp. 30.000. maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
  3. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya: orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang tersebut dari sipenjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual-beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
  4. Riba Nasi’ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang meminjam. Contoh : Rusminah membeli cincin seberat 10 Gram. Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas seberat 12 gram, dan jika terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2 gram lagi menjadi 14 gram dan seterusnya.
V. Prinsip Dan Konsep Bank Islam
Sehubungan dengan masalah yang dihadapi umat Islam dalam hal yang berkaitan dengan bunga bank maka didirikanlah bank Islam yang cara kerjanya disesuaikan dengan syariat Islam yang menghindarkan bunga, yaitu dengan sistem bagi hasil dari perputaran uang yang dilakukan oleh pihak bank maupun oleh pihak peminjam, tentu dengan pembagian yang telah disepakati baik oleh kreditur maupun oleh debitur. Bank Islam menyediakan pelayanan perbankan berupa :
1. Giro Wadiah
2. Tabungan Mudharabah
3. Tabungan Haji
4. Tabungan Kurban
Bank juga melayani kebutuhan pendanaan berupa :
a. Pembiayaan Mudharabah
b. Pembiayaan Murabaliah
c. Pembiayaan bai bithaman ajil
d. Pembiayaan qardul hasan
e. Pembiayaan masyarakah (partnership)
f. Jasa perbankan lainnya.

VI. Koperasi
Pengertian koperasi menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1967 adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha berdasarkan atas asas kekeluargaan. 

Koperasi sebagai lembaga ekonomi merupakan aplikasi dari konsep taawun (kerjasama dan tolong menolong) yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam. Keberpihakan kepada kesejahteraan anggota sebagai suatu keluarga adalah sifat koperasi yang mulia. Jika koperasi ditata sedemikian rupa dapat menjadi lembaga ekonomi yang kuat, saling memajukan antar anggota, sehingga pemerataan kesejahteraan ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Islam sangat peduli terhadap kesejahteraan umatnya secara keseluruhan, bahkan mengorganisasikan kekuatan ekonomi umat merupakan amanat yang harus diupayakan oleh umat Islam.

Tujuan koperasi adalah:
a. Menyelenggarakan suatu masyarakat swasembada yang mampu menopang dirinya sendiri oleh kemampuan tenaga kerja di atas tanahnya sendiri.
b. Menuju suatu kemakmuran dan kesejahteraan bersama
c. Menyelenggarakan kesejahteraan dan kemajuan umat manusia.

Melihat pengertian dan tujuan koperasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Koperasi merupakan penyelenggaraan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam, karena ekonomi Islam adalah ekonomi yang berpihak kepada pengembangan, nasib masyarakat banyak dengan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan. 

Koperasi diselenggarakan berdasarkan azas dan sendi koperasi, yaitu:
1.      Saling tolong menolong
Azas ini merupakan sesuatu yang membedakan koperasi sebagai pelaku ekonomi dalam masyarakat dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam tolong menolong merupakan perilaku yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya, firman Allah :
"….Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. " (QS. Al-Maidah, 5 : 2)

2. Tanggungjawab
Atas ini mengandung arti bahwa dalam koperasi terdapat tuntutan bahwa anggota maupun pengurus dituntut untuk-bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban sebagai anggota maupun resiko-resiko dan tanggungan-tanggungan yang diakibatkan oleh usaha koperasi. Segi tanggung jawab dalam ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan setiap orang. Keadilan dalam bidang ekonomi merupakan azas dalam koperasi di mana kesempatan untuk meningkatkan bagi seluruh anggota yang diatur berdasarkan aturan yang berdasarkan rasa keadilan. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang terhadap koperasi serta memiliki kesempatan yang sama pula dalam memanfaatkan koperasi.

3. Ekonomis.
Dalam koperasi persoalan efisiensi dan efektifitas diukur dalam hubungannya dengan kesejahteraan anggota.

4. Demokrasi.
Dalam koperasi rapat anggota merupakan forum tertinggi dalam mengambil kepulusan. Di sini seluruh anggota bergabung secara bersama-sama berdasarkan kesamaan sebagai anggota koperasi membentuk pengaturan koperasi secara demokrasi.

5. Kemerdekaan.
Koperasi adalah kumpulan anggota yang bersifat sukarela dan mencakup penerimaan tanggung jawab keunggotaan dan kebebasan perkumpulan koperasi untuk membuat keputusannya sendiri dan mengolah masalahnya sendiri Pendidikan. Koperasi dapat diperankan sebagai cara untuk menyampaikan pengertian dari suatu gagasan yang melandasi tindakan koperasi untuk meningkatkan kapasitas keanggotaan dan mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi dengan suatu cara yang efisien.

A.    Dalil  Koperasi

Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24.
Bahkan, Nabi saw tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)
Penekanan manajemen usaha dilakukan secara musyawarah (Syuro) sesama anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan melibatkan seluruhnya potensi anggota yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SW

“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Allah amat berat siksaannya “. (Q.S Al Maidah ayat 2).

            Berdasarkan pada ayat Al-quran diatas kiranya dapat dipahami bahwa tolong-menolong dalam kebajikan dan dalam ketakwaan dianjurkan oleh Allah. Koperasi merupakan tolong menolong, kerja sama, dan saling menutupi kebutuhan. Menutupi kebutuhan dan tolong menolong kebajikan adalah salah satu wasilahuntuk mencapai ketakwaan yang sempurna (haqa tuqatih)

Di dalam Kitabullah, Allah berfirman
 “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga.”(Q.S an- Nisa: 12).
 “Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu.” (Q. S. 38: 24)

Di dalam As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Allah SWT berfirman: “Aku ini Ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.”
 (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah)

B.     Pendapat Ulama Mengenai Koperasi

Sebagian ulama menganggap koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian, dan di antara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan keuntungan setiap tahun dengan persentasi tetap, misalnya 1% setahun kepada salah satu pihak dari mudharabah tersebut. itu termasuk mudharabah atau qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase keuntungan tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu tidak sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan pelaksana usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.

Sedangkan Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab Syirkah Ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dinimuskan oleh fuqaha. Sebab Syirkah Ta’awuniyah, modal usahanya adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masmg. Kalau pemegang saham turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan sistem penggajian yang balaku. Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang dimungkinkan banyak sekali manfaatnya, yaitu membari keuntungan kepada para anggota pemilik saham, membori lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dan sebagian hasil koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.

Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin). Pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh sebab itu koperasi itu dapat dibenarkan oleh Islam.

Penulis Timur Tengah ini berpendapat, haram bagi ummat Islam berkoperasi. Sebagai konsekuensinya, penulis ini juga mengharamkan harta yang diperoleh dari koperasi. Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi, ialah pertama disebabkan karena prinsip-prinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariah. Di antara yang dipersoalkan adalah persyaratan anggota yang harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang dianggap akan membentuk kelompok-kelompok yang eksklusif. Argumen kedua adalah mengenai ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan. Koperasi mengenal pembagian keuntungan yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerja sama dalam Islam hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, atas dasar jerih payah atau atas dasar keduanya. Argumen selanjutnya adalah didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah yang dianggapnya hanya bermaksud untuk menenteramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis (angan-angan/khayalan).

Pendapat tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian bahasan yang bermaksud membuka spektrum hukum berkoporasi, maka selain melihat segi-segi etis hukum berkoperasi dapat dipertimbangkan dari kaidah penetapan hukum, ushul al-fiqh yang lain.

Menurut Masjfuk Zuhdi, koperasi yang memberikan persentase keuntungan tetap setiap tahun kepada para anggota pemegang saham bertentangan dengan prinsip ekonomi yang melakukan usahanya atas perjanjian keuntungan dan kerugian dibagi antara para anggota (profit and loss sharing) dan besar kecilnya persentase keuntungan dan kerugian bergantung pada kemajuan dan kemunduran koperasi.

Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat atau kesejahleraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Ini berarti bahwa ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama yang merupakan kepentingan masyarakat.

Menurut Fuad Mohd. Fachruddin, perjanjian perseroan koperasi yang dibentuk atas dasar kerelaan adalah sah. Mendirikan koperasi dibolehkan menurut agama Islam tanpa ada keragua-raguan apapun mengenai halnya, selama koperasi tidak melakukan riba atau penghasilan haram.

Tolong menolong merupakan perbuatan terpuji menurut agama Islam. Salah satu bentuk tolong-menolong adalah mendirikan kopersai, maka mendirikan dan menjadi anggota koperasi merupakan salah satu perbuatan terpuji menurut agama Islam.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 

Catatan LuQna Copyright © 2014 Design by Zakuze